Berbeda dengan mayoritas negara lain di dunia yang 'merayakan' Hari Ibu
pada minggu kedua bulan Mei, Indonesia memilih untuk memperingatinya
pada 22 Desember.
Pada hari ini, biasanya para ibu di Indonesia
dimanjakan, tak perlu memasak atau melakukan pekerjaan rumah, sementara
anak dan suami mengucapkan terima kasih atas apa yang dilakukan sang ibu
buat keluarganya selama ini dengan membantu melakukan pekerjaan rumah.
Setidaknya gambaran itulah yang sering muncul di media populer, iklan
terutama, akan aktivitas seputar Hari Ibu. Hari ini berfungsi sebagai
pengingat buat para ibu yang melahirkan kita, ibu yang merawat dan
membesarkan kita, bahkan mungkin pengorbanan yang harus mereka lakukan
untuk merawat kita.
Tak ada yang salah dengan
peringatan-peringatan ini. Namun, ada alasan kuat kenapa 22 Desember
dipilih sebagai Hari Ibu di Indonesia dan maknanya lebih besar dari
hanya mengingat sosok ibu dalam hidup kita. Tanggal ini penting
diperingati karena pada hari ini di 1928, berlangsung Kongres Perempuan
Indonesia I di Yogyakarta.
Saat itu, kongres ini dihadiri
sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra. Mereka
datang, berdiskusi, dan mencoba mencari jawaban untuk perbaikan nasib
kaum perempuan. Masalah-masalah yang mereka bahas dalam kongres itu
sangat serius, politis, dan bahkan masih relevan sampai sekarang.
Beberapa isu yang dibahas di antaranya adalah kedudukan perempuan dalam
perkawinan; perempuan ditunjuk, dikawin dan diceraikan di luar
kemauannya; poligami; dan pendidikan bagi anak perempuan.
Pada
akhirnya, kongres ini mengeluarkan empat keputusan penting, mereka
meminta pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan,
meminta pemerintah mengeluarkan surat keterangan saat nikah, beasiswa
bagi perempuan, serta mendirikan kursus pemberantasan buta huruf, kursus
kesehatan serta mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan kanak-kanak
karena perdagangan anak perempuan saat itu yang sangat marak terjadi.
Ini
ironis. Bahkan sejak 1928 saja, organisasi perempuan Indonesia sudah
mengkhawatirkan akan poligami, nikah siri (tak tercatat secara negara),
dan pernikahan dengan anak-anak. Kenyataannya, ini sudah 2012, dan masih
banyak pejabat publik yang melakukan ketiga hal di atas, bahkan salah
satunya sempat mendominasi pemberitaan. Praktik poligami dan nikah siri
pun sudah dianggap menjadi masalah serius saat itu sehingga harus
diberantas. Realita yang kita alami saat ini ternyata sudah dipikirkan
dan dibahas sejak 1928.
Pertemuan ini pun sudah memikirkan
sesuatu yang politis dalam hal aktivisme. Mereka memutuskan untuk
kooperatif dengan pemerintah kolonial saat itu, agar tak dicap radikal.
Dengan tak dicap radikal, mereka berharap perempuan kelas menengah dan
bangsawan bisa ikut bergabung dan turut memikirkan solusi.
Kongres-kongres
perempuan Indonesia yang berlangsung selanjutnya, pada 1929, 1930,
1935, dan 1938, juga konsisten membahas isu pemberantasan perdagangan
anak dan kemudian ditambah dengan membahas isu buruh perempuan sehingga
menghasilkan Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan untuk meneliti
pekerjaan yang dilakukan perempuan Indonesia. Saat itu pun sudah ada
kesadaran bahwa buruh perempuan rentan terhadap eksploitasi dan minim
perlindungan. Betapa relevannya pembahasan itu dengan minimnya
perlindungan pada TKI perempuan yang berangkat ke luar negeri.
Kata
'Ibu' yang ada dalam kongres-kongres ini tak hanya berarti sebagai
sosok maternal, melahirkan dan merawat anak-anak hasil pernikahan. Yang
mereka maksud adalah 'ibu bangsa', setara dengan kata 'founding fathers'
atau 'bapak bangsa'. Konsep 'founding fathers' yang kita miliki
sekarang hanya mengerucut pada dua sosok, Soekarno dan Hatta. Namun pada
1935, perempuan Indonesia sudah mengeluarkan konsep 'ibu bangsa', bahwa
perempuan Indonesia bisa dan harus memiliki peran yang sama besarnya
dengan Soekarno dan Hatta dalam membangun bangsa.
Maka, ucapan
terima kasih pada mama atau ibu di Hari Ibu hanyalah satu bagian kecil
dari makna hari ini sebenarnya. Pada Hari Ibu, ingatlah juga, sudah
seberapa bebas perempuan Indonesia dari poligami, nikah siri, dan
perdagangan? Sudah seberapa banyak peran perempuan dalam politik, dalam
pemerintahan, atau dalam badan eksekutif? Sudah seberapa terlindungikah
perempuan dalam pekerjaannya? Dan ingatlah juga, bahwa pada 1928-1935,
ada perempuan-perempuan revolusioner yang berkumpul untuk turut
memikirkan solusi atas masalah yang dihadapi kaumnya.
Selamat Hari Ibu!